
Sejarah Mengenai Tabuk
Tabuk adalah lokasi penting dalam sejarah Islam karena menjadi tempat berlangsungnya Perang Tabuk pada tahun 9 Hijriah (630 M) atau sekitar September-Oktober 630 Masehi. Perang ini adalah ekspedisi militer yang dipimpin oleh Nabi Muhammad ﷺ sebagai respons terhadap ancaman dari Kekaisaran Romawi Timur (Bizantium) seperti yang sudah dipaparkan oleh Ibnu Hisyam dalam kitabnya Sirah Ibnu Hisyam (w. 833 M).
Menurut Al-Bidayah wan-Nihayah, karya Ibnu Katsir (w. 1373 M), ekspedisi ke Tabuk adalah ujian besar bagi kaum Muslimin karena berlangsung di musim panas yang sangat terik dan membutuhkan perjalanan jauh melintasi padang pasir. Dalam kitab ini dijelaskan bahwa Nabi Muhammad ﷺ dan sekitar 30.000 pasukan Muslim berangkat dari Madinah dengan persiapan yang cukup sulit akibat keterbatasan logistik.
Dalam Kitab al-Maghazi karya al-Waqidi (w. 823 M), disebutkan bahwa setibanya di Tabuk, pasukan Muslim tidak menemukan tentara Romawi yang diperkirakan akan menyerang. Akibatnya, Nabi ﷺ memutuskan untuk berdamai dengan beberapa suku Arab Kristen di wilayah tersebut, termasuk Bani Uqaydir di Dumat al-Jandal.
– Kisah dan Hikmah dari Perang Tabuk
Ketika Rasulullah ﷺ mengumumkan persiapan Perang Tabuk, semua sahabat bergegas untuk ikut serta. Perjalanan ini sangat berat karena jaraknya jauh, cuaca sangat panas, dan menghadapi pasukan Romawi yang besar. Ka’ab bin Malik radhiyallahu ‘anhu awalnya berniat ikut serta. Dia memiliki dua ekor kendaraan yang siap digunakan, sesuatu yang jarang ia miliki sebelumnya. Namun, setiap kali hendak bersiap, ia menunda-nunda keberangkatannya hingga akhirnya pasukan Muslim berangkat tanpa dirinya.
Ka’ab bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata:
“Aku tidak pernah tertinggal dari Rasulullah ﷺ dalam peperangan apa pun kecuali dalam Perang Tabuk. Aku juga tidak ikut serta dalam Perang Badar, tetapi tidak seorang pun yang tidak ikut dicela, karena Rasulullah ﷺ saat itu keluar hanya untuk menghadang kafilah Quraisy hingga akhirnya Allah mempertemukan mereka dalam peperangan tanpa adanya kesepakatan sebelumnya. Aku pernah ikut serta bersama Rasulullah ﷺ dalam malam Aqabah ketika kami berbaiat kepada beliau. Peristiwa itu lebih aku sukai dibandingkan Perang Badar, meskipun Perang Badar lebih masyhur di kalangan manusia.”
Perang Tabuk terjadi pada saat yang sangat sulit. Rasulullah ﷺ memerintahkan kami untuk bersiap menghadapi perjalanan jauh di tengah panas terik dan kekeringan. Saat itu, kaum Muslimin dalam kondisi sulit. Aku belum pernah merasa lebih kuat dan lebih mampu dibandingkan ketika Perang Tabuk.
Demi Allah, sebelumnya aku tidak pernah memiliki dua kendaraan (kendaraan perang) sebagaimana yang aku miliki saat itu.
Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya telah bersiap, tetapi aku masih menunda-nunda hingga akhirnya mereka berangkat. Aku berkata dalam hati, ‘Aku bisa menyusul mereka besok atau lusa.’ Aku pun terus menunda hingga mereka semakin jauh. Aku berkata, ‘Aku akan bersiap besok,’ tetapi aku tetap menunda sampai akhirnya pasukan Muslim telah tiba di Tabuk.
Aku mulai merasa sedih dan berkata, ‘Sekarang aku tidak akan bisa menyusul mereka!’ Aku merasa bersalah dan menyesal atas keteledoranku. Aku pun berjalan ke luar rumah, tetapi tidak menemukan siapapun di Madinah selain orang-orang yang tertinggal karena alasan uzur atau orang-orang munafik yang memang tidak ingin berperang.”
Ketika Ka’ab menyadari bahwa dia benar-benar telah tertinggal, dia merasa sangat menyesal. Di Madinah, hanya ada orang-orang yang memang uzur dan orang-orang munafik yang sengaja tidak ikut. Selain Ka’ab bin Malik, Hilal bin Umayyah, dan Murarah bin Rabi’, terdapat banyak orang munafik yang juga tidak ikut serta dalam Perang Tabuk. Namun, jumlah mereka tidak disebutkan secara pasti. Dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim, Ka’ab bin Malik radhiyallahu ‘anhu menyebutkan bahwa:
وَﺗَﺨَﻠﱠﻒَ ﻋَﻦِ اﻟﻨﱠﺒِ ﱢﻲ ﷺ ﻛَﺜِﯿﺮٌ ﻣِﻦَ اﻟﻨﱠﺎسِ، ﻓَﻘِﯿﻞَ ﻟَﮭُﻢْ: اﻋْﺘَﺬِرُوا إِﻟَﻰ رَﺳُﻮلِ ﱠِﷲ ﷺ، ﻓَﺠَﺎءُوا ﻓَﺄَﻋْﺬَرُوهُ، ﻓَﻘَﺒِﻞَ ﻣِﻨْﮭُﻢْ وَاﺳْﺘَﻐْﻔَﺮَ ﻟَﮭُﻢْ
“Banyak orang yang juga tidak ikut bersama Nabi ﷺ, lalu mereka mencari alasan dan meminta maaf kepada Rasulullah ﷺ. Maka, beliau menerima alasan mereka dan memohonkan ampun bagi mereka.”
Kaab bin Malik, Teladan Kejujuran
Disaat Ka’ab bin Malik radhiyallahu ‘anhu merasa bersalah dan khawatir akan ketidak ikut sertaannya pada perang tabuk, ia memilih untuk berkata jujur kepada Rasulullah ﷺ tentang apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya meskipun itu berisiko membuat beliau marah. Kejujuran inilah yang nanti akhirnya akan membawa kebaikan, sedangkan mereka yang berdusta malah mendapatkan azab dari Allah.
Ka’ab berkata, “Ketika aku mendengar bahwa Rasulullah ﷺ dalam perjalanan pulang dari Tabuk, hatiku mulai diliputi ketakutan. Aku mulai berpikir untuk membuat alasan palsu agar beliau tidak marah kepadaku. Namun, ketika aku mendengar bahwa Rasulullah ﷺ telah tiba, aku pun memantapkan diri untuk berkata jujur.”
Ketika Rasulullah ﷺ dan pasukan Muslim berangkat menuju Tabuk, Ka’ab bin Malik yang sebelumnya selalu ikut serta dalam peperangan, justru tertinggal tanpa alasan yang jelas. Saat Rasulullah ﷺ kembali ke Madinah, banyak orang yang juga tidak ikut perang datang
memberikan alasan-alasan palsu agar diterima oleh beliau. Namun, Ka’ab bin Malik memilih untuk berkata jujur, meskipun ia tahu akibatnya bisa sangat berat.
Ketika menghadap Rasulullah ﷺ, Ka’ab berkata, “…Rasulullah ﷺ tiba di Madinah, lalu masuk ke masjid. Seperti biasa, ketika beliau pulang dari perjalanan, beliau langsung menuju masjid dan menunaikan shalat dua rakaat. Setelah itu, beliau duduk dan menerima orang-orang yang datang kepadanya.
Lalu datanglah orang-orang yang tidak ikut berperang. Mereka mengemukakan berbagai alasan dan bersumpah. Rasulullah ﷺ menerima alasan mereka dan memohonkan ampunan bagi mereka.
Aku datang kepada beliau, lalu mengucapkan salam. Beliau tersenyum, tetapi dengan senyum orang yang marah. Beliau berkata, ‘Kemari.’ Aku pun duduk di hadapan beliau. Beliau bertanya, ‘Apa yang membuatmu tertinggal? Bukankah engkau telah membeli kendaraan perang?’
Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, demi Allah, andai aku duduk di hadapan orang selain engkau, aku pasti bisa mengemukakan alasan hingga ia ridha kepadaku. Tetapi, aku tahu bahwa jika aku berbohong kepadamu hari ini, maka Allah pasti akan membuatmu murka kepadaku. Jika aku berkata jujur, engkau mungkin akan marah kepadaku, tetapi aku berharap Allah mengampuni aku. Demi Allah, aku tidak memiliki uzur apa pun. Aku tidak pernah dalam kondisi lebih kuat dan lebih mampu daripada saat itu.’
Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Adapun orang ini, maka ia telah berkata jujur. Pergilah sampai Allah memutuskan perkara tentangmu!’.” (HR. Bukhari & Muslim).
Kejujuran ini membuat Rasulullah ﷺ menunda keputusan terhadap Ka’ab dan dua sahabat lainnya, Hilal bin Umayyah dan Murarah bin Rabi’. Mereka bertiga harus menjalani ujian berat berupa dikucilkan oleh masyarakat selama 50 hari. Tidak ada seorang pun yang berbicara dengan mereka, bahkan istri mereka diperintahkan untuk menjauhi mereka sementara waktu. Selama masa-masa sulit itu, Ka’ab tetap teguh dan tidak menyesali kejujurannya. Ia yakin bahwa Allah akan memberikan jalan keluar bagi siapa pun yang jujur dalam perkataannya.
Bahkan dikisahkan bahwasanya orang-orang dari Bani Salimah sempat membujuk Ka’ab untuk berbohong seperti yang dilakukan oleh sebagian orang. Namun, ia tetap teguh dengan kejujurannya.
Ka’ab berkata,
“… Lalu, beberapa orang dari Bani Salimah mengikuti aku dan berkata, ‘Demi Allah, kami tidak pernah melihatmu melakukan kesalahan seperti ini. Seandainya engkau mencari alasan kepada Rasulullah ﷺ seperti orang-orang lain, niscaya beliau akan memohonkan ampun
untukmu.’Aku hampir tergoda untuk kembali kepada Rasulullah ﷺ dan mengubah pernyataanku, tetapi aku bertanya, ‘Apakah ada orang lain yang mengalami hal seperti ini?’ Mereka menjawab, ‘Ya, ada dua orang yang berkata jujur seperti engkau, dan mereka mendapat jawaban yang sama.’
Berat sebenarnya apa yang diperjuangkan oleh seoran Ka’ab bin Malik saat mendapat bujuk rayu dari kalangan teman-temannya dari Bani Salimah untuk membuat laporan palsu kepada Rasulullah dan mengesampingkan kejujurannya. Namun inilah Ka’ab, yang setia taat kepada Allah dan Rasulnya untuk selalu berlaku jujur.
Hukuman Sosial Sebagai Sarana Pendidikan
Rasulullah ﷺ memerintahkan umat Islam untuk tidak berbicara dengan Ka’ab dan dua sahabat lainnya selama 50 hari.
“Rasulullah ﷺ memerintahkan kami bertiga untuk dijauhi. Tidak seorang pun dari kaum Muslimin yang berbicara kepada kami selama lima puluh malam. Aku merasa dunia ini begitu sempit. Saudara-saudaraku menjauhi aku. Aku bahkan masuk ke masjid dan mengucapkan salam kepada Rasulullah ﷺ, tetapi beliau tidak menjawabnya.” Kata Ka’ab bin Malik.
Dalam peristiwa ini, Ka’ab bin Malik, bersama dua sahabat lainnya Hilal bin Umayyah dan Murarah bin Rabi’ mengalami hukuman sosial berupa pemboikotan dari Rasulullah ﷺ dan kaum Muslimin selama 50 hari. Mereka tidak diajak bicara, tidak disapa, bahkan istri mereka diperintahkan untuk menjauh dari mereka sementara waktu.
“Sampai akhirnya, hukuman itu terasa sangat lama bagiku. Aku memanjat tembok kebun Abu Qatadah – dia adalah sepupuku dan orang yang paling aku cintai. Aku mengucapkan salam kepadanya, tetapi demi Allah, dia tidak menjawab salamku.” Ujar Ka’ab bin Malik.
Pada hari-hari awal, Ka’ab masih mencoba berinteraksi dengan kaum Muslimin, tetapi tidak ada seorang pun yang menanggapinya. Bahkan, ketika ia mengucapkan salam kepada Rasulullah ﷺ, beliau hanya memberikan isyarat tanpa berbicara sepatah kata pun. Ini membuat Ka’ab semakin merasakan kesalahannya dan semakin mendekatkan dirinya kepada Allah.
Hukuman sosial yang diterapkan kepada mereka bukan sekadar bentuk hukuman, tetapi lebih kepada pendidikan dan penyucian jiwa. Dalam Zaad al-Ma’ad, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah menjelaskan bahwa sikap Rasulullah ﷺ ini adalah metode pendidikan Islam dalam menegur tanpa menggunakan kekerasan. Hukuman sosial ini memberikan kesempatan bagi mereka untuk merenungi kesalahan, meningkatkan keimanan, dan benar-benar kembali kepada Allah
Syaikh Shafiyurrahman Al-Mubarakfuri dalam Ar-Raheeq Al-Makhtum juga menyebutkan bahwa hukuman sosial dalam Islam bukanlah sekadar balasan, tetapi sarana untuk
memperbaiki individu dan menjaga ketertiban masyarakat. Dengan memberikan konsekuensi atas kesalahan, seseorang akan lebih menghargai kejujuran dan tanggung jawabnya
Pada akhirnya, setelah 50 hari penuh ujian, Allah menurunkan wahyu dalam QS. At-Taubah: 118, yang menyatakan bahwa taubat mereka diterima. Ini menjadi bukti bahwa hukuman yang diterapkan benar-benar berhasil membentuk pribadi mereka menjadi lebih baik. Rasulullah ﷺ pun menyampaikan kabar gembira kepada Ka’ab dengan wajah bersinar, menandakan bahwa beliau tidak pernah membenci mereka, melainkan ingin mereka kembali ke jalan yang benar.
Kisah ini mengajarkan bahwa hukuman sosial dalam Islam bukan bertujuan untuk menghancurkan seseorang, tetapi untuk mendidik dan menyucikan jiwa. Dengan hukuman yang tepat, seseorang akan lebih memahami kesalahannya dan berusaha menjadi pribadi yang lebih baik.
Jujur adalah Kunci Diterimanya Taubat dan Sebab Datangnya Cinta Allah dan Rasulnya
Ka’ab mengalami tekanan besar karena dijauhi oleh seluruh kaum Muslimin, termasuk orang-orang terdekatnya. Namun, ia tetap bersabar hingga akhirnya Allah menerima taubatnya. Ka’ab radhiyallahu ‘anhu tidak hanya menyesali perbuatannya, tetapi juga berjanji untuk selalu berkata jujur sepanjang hidupnya.
Hari itu, Ka’ab bin Malik masih merasa terhimpit dalam kesedihan. Sudah 50 hari lamanya ia bersama dua sahabatnya, Hilal bin Umayyah dan Murarah bin Rabi’, menjalani hukuman sosial dari Rasulullah ﷺ dan seluruh kaum Muslimin. Tidak ada seorang pun yang menyapa atau berbicara dengannya. Bahkan, ketika ia bertemu dengan Rasulullah ﷺ di masjid, beliau hanya memberi isyarat tanpa sepatah kata pun.
Ka’ab merasa dunia ini begitu sempit, meskipun ia masih hidup di tanah Madinah yang luas. Hatinya dipenuhi dengan penyesalan, tetapi ia tetap yakin bahwa kejujurannya akan membawanya kepada kebaikan. Ia tidak pernah berniat meninggalkan Perang Tabuk, tetapi kelalaiannya membuatnya tertinggal. Kini, ia hanya bisa berharap dan berdoa kepada Allah agar taubatnya diterima.
Lalu, pada hari ke-50, di waktu Subuh, ia sedang duduk di atas atap rumahnya dalam keadaan penuh kegelisahan. Tiba-tiba, terdengar suara seseorang berteriak dengan penuh semangat dari arah Masjid Nabawi:
“Wahai Ka’ab, bergembiralah!”
Ka’ab yang mendengar suara itu langsung tersentak. Ia tahu, tidak ada kabar yang lebih ia nantikan selain berita ini. Ia pun segera bersujud sebagai tanda syukur kepada Allah.
Sesaat kemudian, datanglah seorang utusan yang membawa kabar langsung dari Rasulullah ﷺ bahwa Allah telah menerima taubatnya dan dua sahabat lainnya. Tanpa pikir panjang, Ka’ab langsung berlari menuju masjid, ingin menemui Rasulullah ﷺ secepatnya.
Begitu tiba di masjid, kaum Muslimin menyambutnya dengan penuh kegembiraan. Mereka menghampiri dan menyalaminya satu per satu. Wajah mereka kini dipenuhi dengan kebahagiaan, berbeda dengan hari-hari sebelumnya ketika mereka menjauhinya.
Ketika ia sampai di hadapan Rasulullah ﷺ, wajah beliau tampak berseri-seri, penuh cahaya kegembiraan. Ka’ab tidak bisa menahan emosinya. Lalu, Rasulullah ﷺ berkata kepadanya:
“أَﺑْﺸِﺮْ ﺑِﺨَﯿْﺮِ ﯾَﻮْمٍ ﻣَ ﱠﺮ ﻋَﻠَﯿْﻚَ ﻣُﻨْﺬُ وَﻟَﺪَﺗْﻚَ أُ ﱡﻣﻚَ”
“Bergembiralah dengan sebaik-baik hari yang pernah kamu alami sejak ibumu melahirkanmu.” (HR. Bukhari & Muslim)
Betapa bahagianya Ka’ab mendengar kata-kata ini. Ia sadar bahwa penantiannya selama 50 hari penuh kesedihan kini telah berakhir dengan kebahagiaan yang tak terhingga. Ia merasa seperti lahir kembali, seolah Allah memberikan kesempatan baru dalam hidupnya.
Dalam kebahagiaan itu, Ka’ab bertanya, “Wahai Rasulullah, sebagai bentuk taubatku, aku ingin menyedekahkan seluruh hartaku di jalan Allah.” Namun, Rasulullah ﷺ menasehatinya agar ia tetap menyimpan sebagian hartanya untuk dirinya sendiri.
Setelah lima puluh malam berlalu, aku sedang shalat di atas atap rumahku. Tiba-tiba aku mendengar seorang lelaki berteriak dari puncak gunung, ‘Wahai Ka’ab bin Malik, bergembiralah!’ Aku segera sujud karena aku tahu bahwa itu adalah kabar gembira.
Keesokan harinya, aku pergi menemui Rasulullah ﷺ. Aku mengucapkan salam, lalu beliau tersenyum dan berkata, ‘Bergembiralah dengan hari terbaik yang pernah engkau lalui sejak engkau dilahirkan oleh ibumu!’
Aku bertanya, ‘Apakah ini dari Allah atau darimu, wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Dari Allah!’
Aku pun berkata, ‘Wahai Rasulullah, sebagai tanda taubatku, aku akan bersedekah dengan seluruh hartaku di jalan Allah!’
Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Tahanlah sebagian hartamu, karena itu lebih baik bagimu.’
Aku berkata, ‘Aku akan menahan sebagian hartaku di Khaibar. Wahai Rasulullah, Allah telah menyelamatkan aku karena kejujuranku. Maka, aku berjanji untuk tidak berbicara kecuali dengan jujur selama aku hidup.’”
Hari itu menjadi titik balik bagi Ka’ab bin Malik. Ia merasakan manisnya kejujuran dan keteguhan dalam bertobat. Kisahnya pun diabadikan oleh Allah dalam QS. At-Taubah: 118, sebagai pelajaran bagi seluruh umat Islam bahwa kejujuran dalam bertobat akan selalu berbuah manis, meskipun awalnya penuh ujian.
Dalam Tafsir Ibnu Katsir, dijelaskan bahwa Allah mengabadikan kisah Ka’ab bin Malik dalam Al-Qur’an untuk menunjukkan bahwa kejujuran dalam bertaubat adalah kunci diterimanya ampunan Allah. Ayat ini turun sebagai bukti penerimaan taubat mereka:
وَﻋَﻠَﻰ اﻟﺜﱠﻼَﺛَﺔِ اﻟﱠﺬِﯾﻦَ ﺧُﻠﱢﻔُﻮا ﺣَﺘﱠٰﻰ إِذَا ﺿَﺎﻗَﺖْ ﻋَﻠَﯿْﮭِﻢُ اﻷَْرْضُ ﺑِﻤَﺎ رَﺣُﺒَﺖْ وَﺿَﺎﻗَﺖْ ﻋَﻠَﯿْﮭِﻢْ أَﻧﻔُﺴُﮭُﻢْ وَظَﻨﱡﻮا أَن ﱠﻻ ﻣَﻠْﺠَﺄَ ﻣِﻦَ ﱠِﷲ إِ ﱠﻻ إِﻟَﯿْﮫِ ﺛُ ﱠﻢ ﺗَﺎبَ ﻋَﻠَﯿْﮭِﻢْ ﻟِﯿَﺘُﻮﺑُﻮا ۚ إِ ﱠن ﱠَﷲ ھُﻮَ اﻟﺘﱠ ﱠﻮابُ اﻟ ﱠﺮﺣِﯿﻢُ
“Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubatnya), hingga apabila bumi terasa sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas, dan jiwa mereka pun terasa sempit oleh mereka sendiri, serta mereka yakin bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Penerima taubat, Maha Penyayang.” (QS. At-Taubah: 118)